Minggu, 19 Juni 2011

Differ to be Different with Differentiation...

Hari itu hari Sabtu, sebuah hari sebelum hari Minggu (of course!!), yang sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian besar para pekerja hari sabtu dianggap dan memang sebagai hari libur (terutama PNS!!), sebuah hari yang didedikasikan untuk bermalas-malasan, untuk berkumpul bersama keluarga, untuk menjalankan rencana akhir pekan dengan berjalan-jalan bersama teman/keluarga. namun tidak bagi saya, setiap hari sabtu, saya ada jadwal mengajar di kelas eksekutif untuk mata kuliah Strategi Pemasaran jam 3 sore – 6 malam. Dan setiap kali ada jadwal mengajar, saya selalu berusaha datang 1 jam lebih awal, gunanya untuk mempersiapkan diri agar lebih lancar dan lebih siap dalam menjelaskan materi kuliah nantinya.

Nah, kemarin ini, pas lagi nggetu2nya membaca buku referensi di perpustakaan, tiba-tiba ada seorang mahasiswa yang menodong saya dengan pertanyaan-pertanyaan, selidik punya selidik, ternyata dia mulai dan sedang belajar bisnis di tempat asalnya. Mahasiswa ini bertanya kepada saya banyak hal, tapi ada satu menarik buat saya, dan saya ingin berbagi pertanyaan itu dengan teman2 pembaca sekalian. Berikut pertanyaannya:

“Pak, saya ini punya produk ini pak, ini buatan saya aseli, tapi MASALAHnya pak, setelah saya amati, ternyata competitor saya itu buanyuak pak! Dan kalo dicomparekan,  produk saya dengan pesaing saya itu hampir sama pak! Mulai dari qualitynya, pricenya, komposisi bahan pembuat produknya suamaa persis, ndak ninggal blas. Hadeuw  pusing saya pak, dari buku teori, saya sudah paham kalo situasi dengan banyak saingan, maka saya harus berbeda pak, harus melakukan differentiation dan saya memang ingin berbeda pak. La caranya gimana pak ini?”

Sebuah pertanyaan lumrah dan boleh dikatakan sering ditanyakan oleh teman2 pebisnis, mengingat situasi saat ini, explosion of choice, sebuah situasi dimana hampir setiap kategori atau jenis produk selalu terdapat produk subtitusinya, terdapat pilihan-pilihan, yang bisa disimpulkan ada pesaing. Jika kita ingin memenangkan persaingan, kita harus berbeda, dan tidak cukup dengan berbeda saja, tapi berbeda yang bernilai positif di mata konsumen.

Y a saran saya pun akhirnya begini. “ya mungkin akan lebih baik bagi anda untuk tidak fokus pada diferensiasi produk, karena anda nanti pasti kesulitan dalam mengotak atik produk anda, atau istilah kerennya kita bicara inovasi produk, mengingat anda mungkin perusahaan berskala kecil, atau mungkin UMKM yang bermodal kecil dan untuk inovasi diperlukan biaya atau modal besar. Fokuslah di luar produknya (Think outside of the box), apa itu? Bisa jadi service anda, dalam contoh sederhananya, anda berani menjanjikan layanan 24 jam non stop, sementara pesaing anda cuma 8 jam perhari, + tanggal merah, libur, anda tawarkan jasa pengiriman sementara pesaing anda tidak, itu kan sudah berbeda? Dan insyaAllah, lebih bernilai positif bagi calon konsumen anda. Atau mungkin harganya, yang secara tidak langsung kita nanti pasti akan bicara cara pembayarannya kan? Ini kan juga bisa jadi dasar diferensiasi anda juga kan? Kalau pesaing anda menetapkan cara pembayaran harus dalam bentuk tunai, maka anda bisa tawarkan dengan pembayaran kredit. Dan masih banyak lagi…”

Kesimpulannya, kalo produk kita sama persis dengan pesaing-pesaing kita, dan kita ingin keluar dari kerumunan pesaing kita, menjadi berbeda dan unik, selain diferensiasi produk, kita bisa masih melakukan diferensiasi non produk lo…

Semoga bermanfaat!

Senin, 06 Juni 2011

Dosen Ngawur...

Assalamualaikum Mas bro mas bro..gimana kabaripun? Can’t better more? Wow that’s great…

Sudah lama saya ndak menulis artikel di blog saya ini, mohon maaf, lamaa buanget memang, ya kira2 satu semingguan ya, hehe, kalo ditanya alasannya kenapa? Ya beberapa hari terakhir, saya mulai bimbang dengan model atau gaya penulisan blog saya ini, saya bertanya2 kepada diri saya sendiri, pantes gak sih gaya bahasa yang saya pilih dengan tema tulisannya? pantes gak sih gaya bahasa saya dengan sasaran/konsumen saya yang dalam hal ini adalah para mahasiswa, dan bahkan mungkin temen2 sesama dosen (khusus untuk dosen, saya yakin bahwa kalo sampai beliau2 ini masuk ke blog saya, ya berarti beliau2 lagi kesasar optimal, pol-polan he, karena masih banyak blog lain dengan content yang lebih bagus, kok ya mau2nya mengunjungi blog saya he).

Selain itu, sebetulnya saya juga ragu dengan pemberian nama “artikel” untuk tulisan saya ini, karena saya menilai bahwa tulisan saya bukan sebuah artikel, dan tidak pantas disebut artikel, lebih sebagai cuap-cuap, sekedar ngobrol kepada teman yang butuh kejelasan dan kebetulan saya mampu menjelaskan, istilah kerennya, ya just conversation sajalah….J.  Ya temen2 pasti tahu sendiri, bagaimana gaya tulisan saya yang multilingual (maksudnya, ya Indonesia, ya jawa, ya Indonesia yang njawani, ya English yang njawani dan bahkan kadang kalo mentok pake bahasa isyarat juga he) dan cenderung tidak fokus, yang kalo orang jawa bilang mblakrak ke mana2..

Dan yang lebih gawatnya lagi, dengan sangat menyesal saya harus mengatakan bahwa saya tidak aken mengubah/membenahi gaya bahasa tulisan saya. Lohh kok??, kok gitu?? Wong sudah jelas di depan, anda mengatakan banyak sekali kekurangan pada gaya bahasa anda, tapi kok tetap tidak mau membenahi?...

Ya karena saya percaya bahwa dunia pendidikan sekarang sudah semakin horizontal, posisi dosen dan mahasiswa mulai sejajar, yang kalau diibaratkan garis, maka garis yang awalnya vertical (dosen diatas, mahasiswa di bawah) mulai berubah menjadi horizontal, dosen dan mahasiswa sudah hampir tidak ada gap lagi. Dalam mencari informasi atau ilmu, mahasiswa sudah tidak hanya bergantung pada dosen saja, mereka bisa browsing, connected dgn teman2nya, lebih kreatif dalam menghadapi masalah, dst. Dalam berhubungan antara dosen-mahasiswa pun guampangnya bukan main. Bisa lewat Facebook, twitter, bisa lewat blog-blog pribadi milik dosen, dari pengamatan saya, teman2 dosen saya juga sudah memiliki blog pribadi dan blog tersebut benar2 dimanfaatkan dengan maksimal, mulai penulisan artikel, penjelasan tentang bab, bahkan sampai UTS dan UAS juga modelnya online, sifatnya real-time (dan saya pun juga sedang mengarah ke sana juga hehe)…

Hal yang paling berpengaruh terhadap perubahan perilaku ini adalah perkembangan teknologi, terutama teknologi komunikasi dan informasi. Hermawan Kartajaya mengatakan sedang terjadi reshaping in Marketing World, dimana para produsen/marketer sudah mulai menata mindset mereka bahwa konsumen mereka sesungguhnya adalah patner mereka, so lagi2 semakin horizontal, masing-masing punya peran yang sama-sama penting, tidak lagi menganggap konsumen dianggap sebagai sekedar sapi perah, yang diambil uangnya saja, tapi juga dianggap sebagai teman, patner. Rhenald Kasali juga mengatakan bahwa generasi yang sedang di hadapi oleh semua pihak yang berkepentingan saat ini adalah generasi C (atau biasa disingkat Gen-C) C berarti connected, co-creation, creative, dan curiousity. Inilah generasi yang terhubung satu dengan yang lain.

beliau memberikan contoh bahwa selama ini asumsi kita menganggap bahwa dokter adalah ahli dan cerdas. Sedangkan pasiennya, secara medis bodoh. Situasinya selalu begini: Dokter menunggu di ruang prakteknya dan pasien-pasien itu terisolasi satu dengan lainnya. Masalahnya, sekarang asumsi itu sudah tidak valid. Pasien terhubung dan melakukan sharing. Situs-situs lokal mempertemukan pasien-pasien berbagi pengalaman. Di luar negeri situs PatientsLikeMe.com sangat digemari dan pasien bebas berkonsultasi free of charge.

Di situs Video Youtube Anda juga bisa menemukan berbagai advice dari dokter-dokter terkenal secara visual. Ada Dr. Vincent Bellonzi yang mengingatkan, agar jangan menyerahkan tubuh kita 100% pada dokter saja. Konsultasikanlah resep pada apoteker. Begitu nasehat dokter senior yang terkenal itu. So kalo dicermati lagi, bukankah hampir sama antara situasi dokter-pasien dengan dosen-mahasiswa saat ini??

Nah menjadi masalah kini, asumsi-asumsi lama tentang mahasiswa sudah tidak valid lagi. Mahasiswa jelas telah berubah menjadi lebih berpengetahuan. Mereka bukan menjadi sok tahu, tetapi memang menjadi lebih tahu. Mereka juga curious atau ingin lebih tahu lagi. Apa jadinya kalau dosennya masih memegang asumsi lama, tertutup dan malas membaca perkembangan baru, menutup kritik mahasiswa dan hanya mengandalkan informasi dari buku2 tebal 200 halaman atau konferensi international?

Dosen tentu harus berubah, menjadi lebih tahu dan membagi waktu antara mengajar dan belajar lagi. Dan yang lebih penting adalah merubah pendekatan agar lebih komunikatif. Inilah yang Rhenald Kasali sebut sebagai daya saing, yaitu lebih produktif dalam menghadapi persaingan. ini juga yang mendasari kenapa saya memilih bahasa slank dalam artikel saya....